Seorang guru di China bernama He Chunyu rela menjadi pemulung untuk membantu membayar uang sekolah bagi murid-muridnya yang kekurangan biaya.
Dia bersama guru lainnya di sebuah sekolah menengah pertama di kota Lingshan, memulung botol plastik bekas, kertas dan barang bekas lainnya untuk dijadikan uang.
Dikutip dari AsiaOne, atas upayanya He telah berhasil mendonasikan sekitar US$ 3 ribu atau sekitar 40 juta untuk disumbangkan pada lebih dari 300 murid di sekolahnya.
He sendiri merupakan lelaki berusia 44 tahun yang terlahir dari keluarga miskin. Ia kemudian dapat menyelesaikan pendidikannya berkat bantuan biaya dari keluarga dan para penduduk desa.
Setelah lulus pada 1998, dia memutuskan kembali ke tanah kelahirannya untuk menjadi seorang guru.
"Ketika saya melihat beberapa murid harus putus sekolah karena kekurangan harta, saya merasa tak nyaman. Tapi tak ada jalan lain pada saat itu karena pendapatan saya terbilang rendah,"
Untuk membantu siswa yang kekurangan biaya tadi, ia lalu mulai 'mengoleksi' barang bekas di waktu senggangnya.
"Waktu terbaik untuk mengumpulkannya adalah ketika murid-murid membuang sampah setelah pagi, jam makan siang atau pada saat mereka pulang sekolah," tambahnya.
Dia juga berujar, teman dan keluarganya sering 'mengejek' tindakannya itu. "Rekan-rekan sering bercanda memanggil saya 'King of Waste' (Raja Sampah) dan istri juga sering mengeluhkan baju saya yang kotor. Walaupun begitu, mereka terus mendukung saya."
He mulai mendapat banyak perhatian sejak 'perjuangannya' diangkat oleh TV lokal pada 2009.
Departemen pendidikan setempat pun memutuskan untuk ikut memberi bantuan dana bagi para muridyang kekurangan biaya di sekolahnya.
"Sebenarnya yang bisa saya lakukan itu terbatas. Tapi saya berharap, langkah saya turut menginspirasi para murid yang kesulitan biaya sekolah agar dapat belajar lebih tekun lagi," tutupnya.
Indonesia juga memiliki sosok seperti He Chunyu yang peduli akan masalah pendidikan bagi anak yang kekurangan biaya.
Sosok itu bernama Yoseph Orem Blikolon. Lelaki berusia 64 tahun yang bekerja sebagai pemulung itu nekat mendirikan sebuah yayasan pendidikan bernama Peten Ina.
Lelaki asal Flores, Kabupaten Lembata itu, lalu mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Surya Mandala pada 2012. Dengan dana terbatas, ia pun menyewa sebuah gedung di Jalan Monitor, RT 026 RW 019, Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang dengan nomor izin operasional DISPPO 801/SEK/33/ 2013.
Pada awal sekolah itu dibuka, ada 87 siswa yang diundangnya untuk menimba ilmu. Semua anak itu sudah putus sekolah. Mereka berasal dari keluarga miskin, seperti anak pemulung, anak penjual ikan, anak pendorong gerobak dan anak penjual koran.
Maka itu, ia tidak mengenakan biaya sekolah bagi mereka alias gratis. Bahkan, sekolahnya menyediakan seragam bagi para siswa.
Agar sekolah bisa beroperasi, Yoseph berkeliling mencari guru. Dari sekian banyak guru yang ditawarinya, mereka ada yang bersedia tidak dibayar. Kini, ada delapan tenaga pengajar yang dibayar dengan hasil menjual rongsokan.
"Saya hanya ingin anak-anak yang setiap hari di jalan bisa sekolah kembali, tidak perlu memikirkan biaya. Meski saya hanya seorang pemulung, tetapi saya ingin anak-anak tidak seperti saya. Mereka masih mempunyai masa depan yang panjang dan mereka butuh uluran tangan saya," ujar Yoseph
Untuk menyekolahkan anak-anak dari keluarga yang tidak mampu, Yoseph bersama seorang guru PNS Bruno Kia Eban mencari anak-anak putus sekolah dari kota hingga ke daerah pelosok. Ia menegaskan bukan hal mudah untuk merangkul dan mendidik anak-anak jalanan itu.
Kesabaran dan pengorbanannya mendidik mereka kini sudah "berbuah". Setiap tahun jumlah siswa sekolah gratis itu bertambah dan bahkan sebagian anak-anak yang tamat kini bersekolah di SMA.
"Saya punya rencana bangun SMK untuk tampung anak-anak setelah tamat dari sekolah ini. Tetapi saya masih belum memiliki lahan dan masih kekurangan anggaran," kata Yoseph.
0 komentar :
Posting Komentar